Mata Hati Gus Dur: Kisah Sang Guru Bangsa yang Melampaui Zaman

Mata Hati Gus Dur: Kisah Sang Guru Bangsa yang Melampaui Zaman

Ada sebuah lelucon yang sering dilontarkan Gus Dur, sapaan akrab bagi K.H. Abdurrahman Wahid, tentang dirinya sendiri: "Kalau mau jadi presiden, jangan pernah mengidolakan saya. Saya ini contoh yang tidak baik." Tentu saja, itu hanyalah candaan khasnya. Namun, di balik tawa renyah itu, tersimpan sebuah ironi yang mendalam. Gus Dur memang bukan idola yang konvensional. Ia adalah sosok yang seringkali kontroversial, penuh misteri, dan sulit ditebak. Ia tidak berjalan di jalur yang lurus, melainkan memilih jalan setapak yang penuh bebatuan—jalan yang hanya bisa dilihat oleh mata hatinya.

Postingan ini bukanlah sekadar catatan sejarah, melainkan sebuah upaya untuk menengok kembali jejak-jejak kebijaksanaan yang ia tinggalkan. Lebih dari sekadar presiden keempat Republik Indonesia, Gus Dur adalah seorang guru bangsa yang ajarannya relevan hingga kini.

Dari Pesantren ke Kancah Politik: Jalan yang Tak Terduga

Lahir di Jombang, Jawa Timur, pada 1940, Gus Dur adalah cucu dari pendiri Nahdlatul Ulama (NU), K.H. Hasyim Asy'ari. Lingkungan pesantren yang kental dengan tradisi keilmuan Islam tak lantas membuatnya menjadi ulama yang hanya berkutat pada kitab kuning. Sejak muda, Gus Dur sudah menunjukkan ketertarikan pada berbagai disiplin ilmu, dari filsafat, sastra, hingga politik. Pengembaraannya di Baghdad dan Eropa membukakan cakrawala pemikiran yang lebih luas, membuatnya menjadi intelektual muslim yang unik.

Ia membawa spirit pesantren—yang berakar pada nilai-nilai toleransi dan kemanusiaan—ke panggung nasional. Ketika banyak ulama lain memilih menjauhi politik praktis, Gus Dur justru melihat politik sebagai arena perjuangan untuk mewujudkan cita-cita kebangsaan. Ini bukan pilihan yang mudah. Ia harus menghadapi berbagai tantangan, termasuk dari internal NU sendiri. Namun, ia yakin, jika tidak ada orang baik yang berani masuk ke dalam sistem, maka sistem itu akan dikuasai oleh orang-orang yang tidak baik.

Kepemimpinan yang Mengguncang Konvensi

Gus Dur menjabat presiden dalam periode yang singkat, hanya 20 bulan. Namun, dalam waktu yang sebentar itu, ia berhasil melakukan gebrakan-gebrakan yang mengejutkan. Ia membubarkan Departemen Penerangan yang dianggap sebagai alat rezim Orde Baru untuk mengontrol informasi. Ia juga mencabut larangan terhadap aktivitas Partai Komunis Indonesia (PKI) dan berani menggagas dialog dengan kelompok-kelompok separatis di Aceh dan Papua.

Langkah-langkahnya seringkali dipandang sebagai kontroversial dan menimbulkan kegaduhan. Namun, bagi Gus Dur, kegaduhan itu adalah bagian dari proses demokrasi yang sehat. "Demokrasi itu bukan hanya soal memilih, tapi juga soal berani berbeda pendapat," katanya. Ia percaya bahwa sebuah bangsa tidak akan maju jika takut menghadapi perbedaan. Keberaniannya untuk mengambil risiko politik demi prinsip-prinsip kemanusiaan dan keadilan adalah ciri khas kepemimpinannya.

Mata Hati dan Pluralisme: Ajaran yang Abadi

Jika ada satu ajaran yang paling melekat pada sosok Gus Dur, itu adalah pluralisme. Ia tidak hanya sekadar menerima perbedaan, tapi merayakannya. Baginya, Indonesia adalah mozaik yang indah, di mana setiap kepingan—apakah itu suku, agama, atau keyakinan—memiliki tempat yang sama. Ia memandang semua manusia setara, tanpa memandang latar belakang.

Posting Komentar